Begitu hujan berhenti yang turun sejak sore hari malam itu, rumah
saya tiba-tiba ada yang mengetuk dari luar. Istri saya tidak berani
untuk segera membukanya, takut, karena kondisi keamanan dalam beberapa
bulan terakhir sangat tidak nyaman. Jangan-jangan yang mengetuk pintu
itu orang tak dikenal. Lalu istri saya memberi tahu: “Pak, sepertinya
ada tamu di luar”. “Lho, kok nggak disuruh masuk”. “Saya tidak berani
membuka pintunya Pak”, jawab istri saya.
Maka dengan penuh sigap saya menuju pintu depan dan langsung
membukanya. Betapa terkejutnya saya ketika melihat di mulut pintu
berdiri seorang laki-laki berkulah kama gagah perkasa. Pakaiannya penuh
rumbai-rumbai kebesaran seperti seorang raja. Wajahnya mirip seperti
wajah dalam lukisan yang selama ini saya melihat dalam buku-buku sejarah
Aceh.
Meski dalam hati saya sudah menduga, bahwa tamu ini pasti seorang
Sultan dari kerjaan Aceh masa lalu. Namun untuk memastikan siapa tamu
itu, saya pura-pura menanyakan: “Maaf Pak, kalau boleh kami tahu, Bapak
siapa?”. Sang tamu langsung menjawab: “Pertanyaan Anda tidak harus saya
menjawab di sini, karena, itu melanggar etika budaya Aceh dalam tata
cara memuliakan tamu.
Mestinya saya diizinkan dulu masuk ke dalam, biar saya jelaskan tujuan
kedatangan saya menemui Anda, dan banyak hal yang harus saya sampaikan
pada Anda menyangkut kondisi Aceh hari ini,” jawab sang tamu yang
kelihatan malam itu agak sedikit geram dengan pakaian kebesarannya,
lengkap dengan selipan sebilah Siwah di pingggangnya.
“Ya, ya Pak, silahkan masuk”. Sampai di dalam kami duduk di ruang
tamu. Laki-laki yang sedang manjadi tamu saya malam itu terus
memparhatikan sebuah lukisan yang terpajang di tengah ruangan. Sesekali
tamu melirik ke arah saya seakan ingin memberitahu bahwa lukisan itu
adalah lukisan dirinya. “Anda tahu, lukisan siapa yang Anda pajangkan
itu? Coba Anda perhatikan baik-baik lukisan yang Anda pajangkan itu
dengan diri saya,” kata sang tamu memulai bicaranya.
“Ampuni hamba Daulat Tuanku Seri Sultan Perkasa Alam yang Mulia. Itu
memang lukisan diri Sultan yang hamba kagumi. Hamba mohon maaf atas
ketidaksopanan hamba menyambut kedatangan Daulat Tuanku Sultan malam
ini”. “Bukan upacara penyambutan yang menjadi tujuan kedatanganku
menemui Anda malam ini. Yang lebih penting untuk Anda tahu, kehadiranku
menemui Anda malam ini adalah untuk menjenguk semua anak-cucuku yang
hidup di Aceh pada zaman ini, setalah kutinggalkan selama 375 tahun yang
lalu. Apakah kalian sebagai pewaris sejarah besar “Nanggoe Aceh” yang
telah kuukir empat abad yang silam masih sanggup kalian jaga dan
memeliharanya hingga zaman ini. Itulah tujuanku menjelma menemui Anda
malam ini sebagai salah seorang cucuku dari hampir lima juta anak cucuku
lainnya yang mendiami Aceh pada zaman ini,” kata Sultan yang seakan
tidak memberikan kesempatan pada saya menjelaskan apa yang sebenarnya
sedang terjadi di bekas negeri kerajaannya yang pernah gemilang dulu
pada hari ini.
“Untuk Anda ketahui”, sambung Sultan, “saya baru saja habis berkeliling
Aceh, untuk melihat keadaan rakyat di bawah pemerintahan Gubernur
kalian di zaman ini, apakah tingkat kemakmuran mereka di gampong-gampong
sama seperti kemakmuran ketika aku memerintah Aceh empat abad yang
lalu. Ternyata, saya sangat kecewa dengan cara kalian memerintahkan Aceh
di zaman ini. Hampir semua pranata adat dan nilai-nilai kearifan
sosial-budaya Aceh, yang dulunya kubangun dengan susah payah, semua itu
kini tinggal kenangan dalam catatan sejarah, karena kalian tidak sanggup
memelihara dan menjaganya”.
“Dan yang lebih mebuat saya sangat kecewa pada kalian zaman ini,”
lanjud Sultan, “adalah karena di hampir setiap kesempatan kalian bicara
selalu mengungkit-ungkit sejarah kegemilangan pemerentahan
kesultananku. Sementara apa yang telah kulakukan dulu dalam membangun
Aceh—hingga disegani oleh berbagai bangsa di dunia—tak pernah kalian mau
mempelajarinya secara sungguh-sungguh. Kalian memahami sejarahku hanya
sepenggal-sepenggal. Yang lebih menyedihkan lagi, ada diantara kalian di
zaman ini yang menuduhku sebagai Sultan yang kejam, otoriter, monarchi,
dengan simtem pemerintahanku yang feodalistik. Itu akibat dari kalian
tidak memahami sejarah kesultananku secara utuh,” ungkap Sultan seperti
marah betul pada apa yang sedang dilakukan oleh anak cucunya di Aceh
dalam zaman ini.
Malam itu, saya hanya bisa diam atas tumpahan amarah dan kekesalan
Sultan yang dialamatkan kepada saya—sebagai salah seorang dari anak
cucunya yang hidup dalam zaman ini di Aceh. Sangking kesalnya Sultan
malam itu, sehingga saya tidak berani untuk memotong pengbicaraannya
yang kelihatan sangat serius. Tatapi yang membuat saya tak habis pikir,
mengapa Sultan harus menumpahkan segala kekesalannya—terhadap kondisi
Aceh hari ini pada saya. Bukankah masih banyak anak cucunya yang lain di
Aceh sekarang yang hebat-hebat dengan ketokohan dan jabatannya sudah
berpangkat tinggi.
“Kalian yang hidup di zaman ini boleh saja menuduhku sebagai seorang
Sultan yang kejam, yang memerintah dengan tangan besi menurut analisa
sejarah kalian masing-masing. Itu hak kalian dalam menilaiku. Tapi yang
harus kalian ketahui, bahwa dalam saya mempinpin Aceh dulu tidak dengan
selera politik kepentingan diriku dan kelompok-kelompok diriku
sendiri. Para Orang Kaya yang dinilai sangat berperan dalam memainkan
politik “menaikkan dan menjatuhkan seorang Sultan di kerajaan Aceh
dulu. Di masa Kesultananku meraka kujadikan sebagai mitra dari bagian
kerajaan dalam mendukung berbagai program pembangunan kala itu. Hal itu
bisa kalian pelajari bagaimana aku menyusun Undang-Undang Kerajaan Aceh
dulu, yang kalian kenal sekarang dengan “Qanun Meukuta Alam” atau
“Qanun Al-Asyi”. Dalam Qanun itu—sebagai Undang-Undang Dasar Kerajaan
Aceh—semua aturan yang kubuat tidak ada satu pasal pun pihak yang
dirugukan. Kalau kalian tidak percaya, buka kembali “Qanun Al-Asyi” dan
pelajari dengan sebaik-baiknya, agar kalian tahu bagaimana besarnya
tanggung jawab seorang pemimpin”, kata Sultan.
“Satu hal lagi yang perlu kalian ketahui”, Sultan melanjutkan, “saya
memerintah Aceh dulu mungkin lebih demokratis dari demokrasi yang kalian
gembar-gemborkan di zaman ini. Memang tidak banyak diantara kalian yang
mengetahui, kalau sistem pemerintahan kerajaan Aceh yang kubangun di
masa Kusultananku dulu adalah sistem pemerintahan Federal. Semua
Uleebalang yang kuangkat kuberikan hak penuh untuk menguasai dan
mengatur wilayahnya masing-masing. Kecuali wilayah-wilayah tertentu
yang tidak memiliki Uleebalang, di wilayah itu kuangkat seorang Wali
Nanggroe sebagai perpanjangan tanganku sebagai Sultan untuk mempin
rakyat di wilayah-wilayah yang jauh dari pusat kerajaan. Jadi, Wali
Nanggroe yang ingin kalian bentuk di Aceh sekarang jangan kalian kaitkan
dengan sejarahku. Sebab, dalam struktur Kesultananku dulu, Wali
Nanggroe adalah penguasa wilayah terkecil, atau penanggung jawab untuk
daerah-daerah taklukkan kerajaan Aceh”, ungkap Sultan, seraya
menjelaskan lagi bahwa berdasarkan Undang-Undang “Qanun Meukuta Alam”
para Uleebalang yang memerintah wilayahnya masing-masing diwajibkan
membayar upeti (pajak) kepada kerajaan, termasuk wilayah yang dipimpin
oleh Wali Nanggroe.
“Apakah sistim kepemerintahanku seperti itu bukan pemerintahan yang
demokratis,” Sultan mempertanyakan sistem pemerentahannya yang sering
dituduh oleh sebagian sejarawan sebagai sosok Sultan yang kejam dan
otoriter. Karena itu Sultan mengingatkan: “Kalain jangan mudah
terpengaruh dengan apa yang ditulis Augustin De Beaulieu dalam
catatannya (1621) tentang diriku dalam memerintah Aceh saat itu (baca
Sumatera Tempo Doeloe: 2010). De Bealieu adalah seorang utusan
perdangaan Prancis yang kecewa dengan Kesultanan Aceh masa
pemerentahanku, karena Aku tidak memau menerimanya untuk sebuah
gegosiasi perizinan perdagangan Prencis di Aceh. Aku baru menerima
Bealieu setelah enam bulan kemudian untuk sebuah perizinan perdagangan
Prancis di Aceh, itu pun dengan aturan yang sangat ketat kuberlakukan
sesuai Undang-Undang perdagangan asing di kerajaan Aceh. Itu sebabnya,
selama enam bulan Augustin De Bealieu tinggal di Aceh, sambil menunggu
perizinan dariku sebagai Sultan Aceh saat itu, Bealieu telah menulis
banyak tentang Kesultananku di Aceh sebagai Sultan yang kejam,” begitu
Sultan menceritakan ikhwal sejarahnya.
Saya sendiri malam itu memang nyaris menjadi pendengar setia apa yang
disampaikan Sultan. Sampai beliau menjelaskan, kenapa di masa
Kesultanannya ia tidak mau menerima Syeh Nuruddin Ar-Raniry (seorang
ulama dari Ranir India) untuk bergabung dalam kerajaan Aceh. “Karena
sudah kuperkirakan, bila ulama itu kuizinkan menetap dan berperan di
kerajaan Aceh, kehidupan keberagamaan rakyat di Aceh saat itu akan
menjadi kacau. Dan itu terbukti setelah kemangkatanku, Nuruddin
Ar-Raniry kembali datang ke Aceh mempengaruhi menantuku Sultan Iskandar
Stani, sehingga ulama dari Ranir India itu berhasil berperan di kerajaan
Aceh, hingga membuat kekacauan kehidupan beragama di Aceh, yang
sebelumnya telah kubangun dengan tenang berdasarkan empat mazhab. Tapi
apa yang terjadi kemudian, kitab-kitab ilmu pengetahuan keagamaan yang
kubiayai penulisannya pada para ulama di masaku, semua kitab-kitab
habis dibakar atas suruhan fatwa Syeh Ar-Raniry. Hanya sedikit yang
tersisa buat kalian pelajari di zaman ini. Karenanya, kalian sebagai
anak cucuku yang hidup di zaman ini tak bisa lagi memahami sejarah
Kesultananku secara lengkap, karena sumber kitab-kitabnya telah musnah
dibakar semasa Syeh Nuruddin Ar-Raniry. Itu yang sangat kusesalkan”,
keluh Sultan.
“Itu semua memang masa lalu yang mungkin kalian anggap tidak penting
lagi di zaman ini. Tapi sesungguhnya, itulah pelajaran sejarah yang
harus kalian petik dari sejarahku untuk menjadi spirit dalam kalian
membangun Aceh sekarang ini. Dan kehadiranku menemui Anda malam
ini—sebagai salah seorang dari empat juta lebih cucuku yang mendiami
Aceh saat ini—adalah untuk mengamanahkan, Aceh saat ini butuh seorang
pemimpin yang cerdas, tegas, dan berwibawa, dengan integritas pemahaman
keagamaan intelektual yang tinggi. Bukan pemimpin yang mengubar janji,
yang memperkaya diri dengan kepemimpinannya. Maka Pilkada yang akan
kalian sukseskan dalam tahun ini di Aceh, tak akan ada artinya bila
kalian tidak menemukan sosok pemimpin yang seperti itu. Sampaikan
amanahku ini pada semua anak cucuku lainnya yang tidak sempat kudatangi
satu persatu di seluruh Aceh, agar mereka sadar untuk tidak lagi salah
memilih pemimpinnya dalam Pilkada Aceh tahun ini. Hanya itu pesanku,”
kata Sultan mengakhiri bicaranya.
Semua yang dibilang Sultan malam itu baru saya sadari setelah istri
saya membangunkan saya persis pada pukul tiga dini hari. “Bapak
menggigau apa sih, dari tadi kedengerannya kok Sultan-Sultan terus?”,
tanya istri saya. “Aduh, saya baru saja habis bermimpi ditatangi Sultan
dari kerajaan Aceh”. “Makanya Pak, kalau mau tidur jangan lupa ngucap,
biar tidak diganggu setan”.*
Penulis, Budayawan, Pemerhati Sejarah, tinggal di Banda Aceh.
Penulis, Budayawan, Pemerhati Sejarah, tinggal di Banda Aceh.
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !